Manohara, Perspektif Malaysia Lebih jauh, sejatinya kasus ini
tidak perlu menjadi drama panjang di layar kaca dan media cetak,
seandainya Manohara membawa kasus kekerasan rumah tangga ini ke
pengadilan.
Palace says it is a private affair (New Straits Times, 3 Juni 2009)
KUTIPAN itu adalah jawaban istana terhadap hiruk-pikuk drama pelarian
Manohara dari ”kekangan” Istana Kelantan. Kalangan istana melihat
persoalan rumah tangga Manohara dan Tengku Temenggong Muhammad Fakhry
Petra tidak seharusnya diusung ke khalayak.
Namun media massa Indonesia telah mengumbar kasus ini hingga yang
terkecil, berbeda dari media Malaysia yang sangat berhati-hati mengulas
isu ini karena menyangkut kerabat istana, institusi yang menempati
posisi tertinggi dalam hierarki masyarakat. Bagaimanapun, kedudukan
raja menempati posisi nomor dua setelah Tuhan dalam dasar Kebangsaan
Malaysia. Malah lagu kebangsaannya pun memberi tempat istimewa kepada
raja.
Kalau sang putri bukan dari Indonesia, mungkin persoalan ini tidak
memaksa media Malaysia turut memuat berita heboh ini. Pemberitaan yang
sangat gencar di Tanah Air telah membuka ”dalaman” Istana yang selama
ini cenderung tidak dipublikasikan menempatkan media Malaysia pada
posisi sulit.
Apalagi, kasus ini telah melibatkan wakil pemerintah Indonesia dan
wakil istana sejak awal. Meskipun demikian, media Malaysia, seperti The
Sun, hanya sebatas mengulas kasus ini telah mendapatkan perhatian 10
televisi swasta, tanpa mencoba menekankan sensasi berkaitan dengan
pelecehan fisik dan seksual yang menimpa Manohara.
Tak Tersentuh
Sebagai istri dari salah seorang kerabat istana, gelar Cik Puan untuk
Manohara adalah sebuah jaminan kehidupannya akan bergelimang
popularitas dan harta. Pesawat jet pribadi sang pangeran akan
mengantarkan sang putri ke mana dia melanglang buana. Namun cerita
indah itu tidak menjadi kenyataan. Sang putri menderita lahir dan batin
karena ”mengaku” kepada media telah didera oleh Pangeran.
Tidak tanggung-tanggung, mantan model ini sesumbar mempunyai bukti
rekaman dalam telepon genggam dan disimpan dalam compact disk sebagai
back up. Sebaliknya, media Malaysia tidak memberikan ruang yang luas
untuk bersuara bagi sang putri. Malah koran The New Straits Times
(5/5/09) mencoba mengalihkan isu dengan membuat judul besar Ibu
Manohara masuk dalam daftar Interpol (Manohara’s mum on Interpol arrest
list).
Namun jauh berbeda dari media alternatif, seperti di blog aktivis
terkemuka Hishamuddin Rais. Dengan nada kelakar, penulis terkenal
Malaysia ini mengolok-olok Manohara yang dianggap bertindak durhaka dan
tidak tahu diri karena lawannya adalah seorang ”untouchable” dan bahkan
bisa mengutuknya menjadi batu akik.
Tentu, pernyataan ini bisa ditafsirkan sebagai kritik rakyat kepada
istana secara halus yang selama ini tak pernah digugat oleh kawula. Hal
ihwal istana yang coba ditutup rapi telah menjadi sorotan publik,
sesuatu yang terlarang sebelumnya. Sosok anggota keluarga istana yang
karismatik telah menjadi bahan olok-olok.
Celakanya lagi, drama ini telah mengungkit sesuatu yang tabu di negeri
jiran. Pernyataan seorang VJ MTV Daniel Mananta (Detik, 5/5/09) bahwa
sang putra mahkota itu adalah pedofil tentu makin memburukkan citra
”Kerajaan” Kelantan di publik Malaysia dan bisa memancing kemarahan
rakyat Malaysia.
Agaknya komentar ngawur semacam ini tidak akan dikutip oleh media di
sana, namun adalah tidak mustahil pernyataan keras tentang perilaku
anggota keluarga Raja menjadi konsumsi media alternatif. Lagi-lagi,
persoalan ini akan menempatkan Istana pada citra yang tak lagi keramat,
setelah sebelumnya Istana Negara Bagian Perak dikritik keras oleh
sebagian rakyat karena dianggap tidak adil dalam menyelesaikan
perebutan kekuasaan antara koalisi Barisan Nasional dan Pakatan Rakyat.
Beberapa demonstran sanggup merebahkan badan untuk menghalang mobil
yang membawa Putra Mahkota Perak, Raja Nazrin. Adalah tidak aneh jika
adagium raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah berhamburan
keluar dari mulut orang ramai.
Mengelak Sensasi
Sebenarnya cerita ini melengkapi kasus hubungan dua negara yang lebih
seram, Ambalat. Jika dalam kasus terakhir melibatkan dua kuasa mengenai
perbatasan, yang pertama berkait dengan perseteruan budaya.
Bagaimanapun harus diakui Manohara adalah wakil dari budaya
”keterbukaan” dan Fakhri dibatasi oleh banyak aturan protokol istana.
Karena itu, masyarakat luas hanya mendengar pernyataan dari teman dekat
Fakhri mengenai sikap istana. Apalagi, pihak kesultanan di sana
cenderung menggunakan juru bicara dan lebih menyukai menggunakan
kata-kata bersayap. Acara infotainment TV Malaysia juga tidak akan
mengambil risiko untuk menyiarkan kasus ini secara gamblang,
sebagaimana di Indonesia. Dengan demikian, publik Malaysia akan melihat
kasus ini sebagai pertikaian rumah tangga biasa, tidak lebih.
Nyata, kejadian ini membuka mata hati kita bahwa kata serumpun tidak
lagi ampuh untuk membuat kedua warga negara ini menjadi dekat. Padahal,
kasus kekerasan suami terhadap istri semacam ini acapkali terjadi di
masing-masing negara, namun tidak kemudian menyeret isu yang lebih
besar bahwa Malaysia cenderung mengasari Indonesia.
Kesan ini tampaknya telah terpatri pada kebanyakan benak warga
Indonesia bahwa apa pun yang berkait dengan hubungan keduanya selalu
berakhir buruk. Untuk itu, biarlah Manohara menyelesaikan kasus
pribadinya secara hukum.
Seyogyanya seteru Istana Kelantan ini tidak perlu menjadikan persoalan
pribadinya sebagai panggung untuk menarik simpati dan menimbulkan
hujatan masyarakat di sini terhadap kehidupan istana Malaysia.
Bagaimanapun, media mempunyai peran untuk menjernihkan masalah ini agar
hubungan baik antara dua negara tidak semakin kisruh setelah Ambalat
menyeruak ke permukaan.
Lebih jauh, sejatinya kasus ini tidak perlu menjadi drama panjang di
layar kaca dan media cetak, seandainya Manohara membawa kasus kekerasan
rumah tangga ini ke pengadilan. Di Malaysia, suami yang melakukan
kesalahan tindakan kekerasan menurut seksyen 127 Akta Undang-Undang
Keluarga Islam (Wilayah Federal) 1984 bisa dihukum denda tidak lebih RM
1000 (sekitar 3 jutaan) dan penjara 6 bulan atau keduanya sekaligus.
Selain akta ini, Akta Kekerasan (Keganasan) Rumah Tangga 1994
menegaskan bahwa seorang suami yang telah memukul istrinya sehingga
cedera fisik atau seksual, memungkinkan sang istri bisa meminta
perlindungan pengadilan dan suaminya bisa dihukum jika terbukti
bersalah. Selain itu, sebenarnya banyak lembaga swadaya masyarakat yang
siap membantu memberikan pembelaan terhadap kasus seperti ini, seperti
Sisters in Islam dan Tenaganita. Lalu, apa yang kau cari, Manohara?
Perempuan blasteran Bugis-Prancis ini sedang mencari keadilan. Di
Malaysia, dia merasa tak bisa berbuat banyak karena kekuasaan sultan
yang tak bisa disentuh. Pengakuannya yang direkam dan tersebar telah
memengaruhi pandangan publik bahwa perselisihan ini mengandaikan David
dan Goliath.
Sekarang, kasusnya sedang bergulir menuju pengadilan. Keduanya telah
mempunyai pasukan pengacara untuk mencari kebenaran. Media Malaysia
telah menempatkan diri sebagai corong suara dari sang Pangeran. Portal
Berita Malaysia Kini mencoba untuk berlaku adil, sama-sama memuat
berita dari kedua belah pihak. Jika demikian, kita tunggu saja dewi
keadilan menjawab semua carut marut ini. (35)
credit : Ahmad Sahidah, peneliti dan doktor Departemen Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia
|